PADA 1988, Menteri Kehutanan Soedjarwo menyerahkan hutan mangrove di Angke Kapuk Jakarta Utara kepada PT Mandala Permai, perusahaan pengembang perumahan milik pengusaha Sudwikatmono. Luasnya 831,63 hektare, dari total kawasan hutan Angke Kapuk 1.162,48 hektare.
PT Mandala Permai hendak membangun permukiman seluas 487,89 hektare, bangunan umum seperti hotel, cottage, dan bangunan komersial lainnya 93,35 hektare, rekreasi dan olah raga 169,13 hektare, serta rekreasi air buatan 81,26 hektare.
Sudwikatmono menukar kawasan rawa dan mangrove itu dengan dua bidang lahan di Pulau Penjaliran Barat dan Timur di Kepulauan Seribu seluas 39 hektare, tiga bidang di Desa Rumpin, Desa Kampung Sawah dan Cipinang Kecamatan Rumpin Bogor 75 hektare, Kecamatan Nagrak Sukabumi 350 hektare dan 10 bidang di Kecamatan Sukanagara dan Campaka Cianjur 1.190 hektare.
Proses tukar-menukar itu berlangsung selama 4 tahun sejak Soedjarwo menandatangani perjanjiannya. Luas lahan penggantinya tidak sama karena ada ketentuan jika lahan pengganti berada di Jakarta maka rasionya 1:1, jika di luar Jakarta 1:2.
Penyerahan segala hal dan kepentingan kawasan hutan Angke Kapuk itu terjadi pada 1991 ketika Menteri Kehutanan dijabat Hasjrul Harahap kepada Gubernur Jakarta Wijogo Atmodarminto. Kelak hutan mangrove yang tak bernilai itu menjadi kawasan perumahan elite Pantai Indah Kapuk.
Mungkinkah model tukar menukar kawasan hutan atau rezoning seperti itu bisa dilakukan sekarang?
Jika konsisten berkhidmat pada banyak aturan soal tukar menukar kawasan hutan, apa yang terjadi di PIK pada 1988 tak mungkin terjadi sekarang. Sebab hutan bakau masuk dalam kelompok kawasan suaka alam dan cagar budaya yang merupakan satu dari lima kelompok kawasan lindung yang harus dijaga dan dipertahankan keberadaannya.
Masalahnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 97/2018 pada pasal 5 ayat (1) masih mengizinkan tukar menukar kawasan hutan pantai mangrove dengan pengganti hutan mangrove di tempat lain. Bukankah hutan bakau sebagai pengganti di tempat lain juga termasuk kawasan lindung?
Hutan mangrove pasti berada di pantai dan muara sungai, tetapi tidak semua pantai dan muara sungai bisa ditumbuhi tanaman mangrove. Karena itu wajar jika mangrove masuk kawasan lindung.
Inkonsistensi lain adalah PP Nomor 104/2015 pasal 10 yang menyatakan bahwa lahan pengganti kawasan hutan yang ditukar salah satunya adalah kawasan hutan produksi yang bisa dikonversi (HPK). Ini juga aneh karena prinsip tukar menukar kawasan hutan adalah luas kawasan hutan tetap utuh.
Karena itu apabila terjadi tukar menukar lahan dengan kawasan non kehutanan, prosesnya seharusnya tidak mengubah luas kawasan hutan secara keseluruhan dari wilayah daerah aliran sungai (DAS), provinsi atau pulau.
Sebaliknya tukar menukar kawasan hutan dengan pengganti kawasan hutan untuk pembangunan nonkehutanan, pasti akan mengurangi luasan hutan secara keseluruhan dalam wilayah DAS, daerah, maupun pulau.
Penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan nonkehutanan yang lebih realistis dan logis jika memakai skema pelepasan kawasan hutan langsung atau pinjam pakai kawasan hutan. UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan yang diubah oleh UU Cipta Kerja mengakomodasi dan mempermudah pelepasan kawasan hutan dan pinjam pakai kawasan hutan di masa depan.
Dengan tidak ada lagi hutan produksi terbatas akan makin mudah bagi pemerintah mengubah fungsi kawasan hutan dari hutan produksi tetap menjadi hutan produksi yang bisa dikonversi. Ujungdari perubahan itu adalah pelepasan kawasan hutan.
Apalagi pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan nonkehutanan tidak hanya bisa dilakukan dalam kawasan hutan produksi, juga dalam kawasan hutan lindung melalui mekanisme izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.27/2018 yang selama telah banyak dipakai untuk mengubah hutan menjadi pertambangan.
konsultasikan kebutuhan anda dalam urusan penggunaan hutan kepada PT Kilausurya Alam Lestari melalui no wa 0812-7991-0832 atau email ke info@kilausurya.co.id