Kebijakan Pemerintah Mengenai Perkebunan Sawit dalam Kawasan Hutan

 

gambar astra-agro.co.id perkebunan kelapa sawit produsen oksigen paling banyak

Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang menjadi produsen utama penghasil kelapa sawit sekaligus merupakan eksportir terbesar kelapa sawit di pasar dunia. Pangsa areal kelapa sawit Indonesia adalah 55,5% dari total luas areal kebun sawit dunia dan 48,27% dari total produksi CPO dunia. Perluasan perkebunan kelapa sawit dengan cepat menjadi fenomena global (Colchester & Chao, 2011).

Proses dari produksi dan perdagangan dari minyak ini melibatkan beragam aktor, mulai dari petani kecil, perusahaan perkebunan, industri, pemerintah di berbagai tingkat, dan lainnya. Jaringan tersebut membentuk tata kelola polisentris di berbagai tingkat dan melibatkan berbagai pelaku dengan kewenangannya, yang terikat oleh hubungan global-lokal (Arts et al., 2006).

Interaksi aktor dan sistem pengambilan keputusan terkait industri perkebunan sawit, berimplikasi pada hak-hak atas tanah dan perubahan penggunaan lahan (Myers et al, 2016). Laju perluasan sawit rakyat tahunan merupakan dampak dari para petani yang termotivasi ikut membuka lahan sawit dengan luas yang bervariasi dan laju tersebut diduga lebih tinggi dibanding laju perluasan yang dilakukan perusahaan besar (Lee et al., 2014).

Besarnya peran industri minyak sawit dalam menopang perekonomian nasional dan semakin meningkatnya kinerja sektor perkebunan ternyata dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks. Salah satu tantangan tersebut adalah adanya perkebunan kelapa sawit atau lahan untuk perkebunan yang dikuasai perusahaan, perseorangan atau kelompok masyarakat yang berada secara ilegal di atas kawasan hutan.

Dari total luas perkebunan kelapa sawit nasional yang mencapai 14,03 juta ha, sekitar 2,5 juta ha atau 21% nya terindikasi berada di dalam kawasan hutan, yang terdiri dari perkebunan yang dikuasai perusahaan swasta/BUMN seluas 800 ribu ha dan perkebunan rakyat 1,7 juta ha (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2017).

Presiden juga mengindikasikan bahwa di Pulau Kalimantan saja terdapat kurang lebih 4 juta ha kawasan hutan tumpang tindih dengan kawasan perkebunan. Sementara, dari total luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau yang mencapai 4,44 juta ha, sekitar 2,42 juta ha diantaranya adalah dikelola petani, dan dari luas tersebut sekitar 1,3 juta ha atau 56% nya

2. Kebijakan Pemerintah Terhadap Perkebunan Sawit dalam Kawasan Hutan

Permasalahan tenurial perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan yang saat ini terindikasi mencapai 2,5 juta ha tidak terlepas dari sejarah perkembangan investasi kehutanan dan perkebunan serta pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan.

Praktik dan strategi pengadaan dan penguasaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit baik yang melibatkan perusahaan atau badan usaha maupun masyarakat perseorangan, sekalipun sebagian dilakukan melalui tata cara yang legal, telah berperan di dalam mendorong terjadinya perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan. Dampak positif dalam perkembangan lahan kelapa sawit ini secara umum mampu meningkatkan perekonomian negara, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memperluas lapangan pekerjaan. Meskipun demikian, perkembangan lahan kelapa sawit juga memiliki dampak negatif yakni degradasi lahan hutan gambut, hilangnya habitat berbagai flora dan fauna, dan meningkatnya emisi karbon.

Perlu dipertimbangkan beberapa hal berikut untuk lebih mengefektifkan implementasi kebijakan di dalam menyelesaikan penyelesaian tenurial perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan agar permasalahannya tidak berlarut-larut dan tujuan kepastian investasi dan keadilan dapat tercapai. Setidaknya terdapat 7 bagian yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan untuk penyelesaian masalah perkebunan kelapa sawit dalam kawasan.

Perusahaan-perusahaan perlu diberikan kesempatan kedua untuk mengajukan permohonan izin pelepasan kawasan atau tukar menukar dari Menteri KLHK dengan menetapkan batas waktu yang baru.1

Untuk menyelesaikan penguasaan kebun sawit oleh masyarakat di kawasan hutan dan mendorong mereka untuk lebih produktif sekaligus menjaga kontribusi mereka terhadap produksi minyak sawit nasional secara berkelanjutan, maka ketentuan-ketentuan tentang TORA perlu disesuaikan. Lahan garapan untuk kebun sawit perlu lebih definisikan secara lebih jelas, prasyarat penguasaan lahan garapan perlu diperpendek, dan penyesuaian dan pemutakhiran peta indikatif TORA perlu direkonsiliasi dengan data survey dari berbagai pihak lain.

Penegakan hukum melalui penerapan Undang Undang No. 18 tahun 2013 dan ketentuan lain tentang tuntutan ganti rugi diterapkan bagi perusahaan-perusahaan yang berdasarkan verifikasi dan evaluasi  perkebunan kelapa sawitnya berada dalam kawasan secara ilegal dan bukan karena inkonsisten kebijakan. Langkah-langkah hukum serupa perlu diterapkan bagi perkebunan rakyat yang masuk dalam kategori petani, usahawan dan elit lokal.

Upaya penyelesaian tenurial perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan perlu dikombinasikan dengan pengampunan atas tanah atau amnesti tanah (land amnesty) yang diharapkan dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Land amnesty sebaiknya diprioritaskan kepada petani atau pekebun skala kecil yang kebun sawitnya secara de jure tidak bisa masuk atau menjadi bagian program reforma agraria.

Untuk mengurangi kerugian negara dari hilangnya potensi pajak penggunaan lahan di kawasan hutan oleh pelaku usaha, perlu juga dipertimbangkan pemberian legalisasi secara terbatas padakebun-kebun yang terlanjur berada di kawasan hutan produksi, yang luasannya ditentukan berdasarkan kajian ekologi, sosial dan ekonomi. Selain batasan maksimal luas, misalkan 10% dari seluruh total luasan kawasan hutan produksi di lokasi tersebut, pelaku usaha juga diwajibkan memenuhi ketentuan perizinan lain yang relatif lebih ketat dibandingkan pelaku usaha perkebunan yang berada di luar kawasan hutan, seperti keharusan menyisihkan proporsi ‘areal bernilai konservasi tinggi’ yang lebih luas.

Kebijakan dan aturan yang terkoordinasi, terintegrasi dan tersinkronisasi antara sistem tata guna lahan, kehutanan dan tata ruang di tingkat pemerintah pusat (yang melibatkan kementerian terkait seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan pemerintah daerah mutlak diperlukan untuk menyelesaikan dan menghindari terjadinya konflik agraria.

Rekonstruksi tata batas wilayah pedesaan dan penyusunan tata ruang desa dan tata guna lahannya yang berbasis ekologis bisa menjadi pilihan kebijkan untuk memitigasi konflik tenurial perkebunan di tingkat tapak.

sumber : zega