Kajian Yuridis Izin Pertambangan di Kawasan Hutan

 

Secara konstitusional, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sebagai bagian dari kegiatan pengelolaan sumber daya alam, ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut diperkuat dengan bunyi ketentuan Pasal 23 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan itu sendiri pada prinsipnya hanya dapat digunakan untuk kegiatan sektor kehutanan yang dapat dilakukan pada seluruh kawasan kecuali hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. 

Namun demikian, UU Kehutanan memberi kemungkinan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dengan catatan, hanya dimungkinkan pada areal hutan produksi dan hutan lindung tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan, melalui pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas, jangka waktu dan kelestarian lingkungan (Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan). 

Khusus penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan, pada prinsipnya UU Kehutanan mengatur larangan kegiatan pertambangan dengan pola pertambangan terbuka kecuali dilakukan pada hutan produksi dan harus memenuhi persyaratan-persyaratan khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan. Artinya, kepentingan pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif dan dilarang melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan. Namun, UU Kehutanan tidak mengatur perizinan penggunaan kawasan hutan yang telah diberikan sebelum berlakunya UU Kehutanan. 

Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi perusahaan pertambangan yang telah melakukan perjanjian dan memperoleh izin dari Pemerintah untuk melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan dengan pola pertambangan terbuka sebelum terbentuknya UU Kehutanan. Untuk mengakomodir kepentingan tersebut Pemerintah mengeluarkan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan UndangUndang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang, yang menyatakan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. 

Selanjutnya melalui Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan, Pemerintah menetapkan 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya UU Kehutanan, untuk melanjutkan kegiatannya di kawasan hutan sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Lebih lanjut Keputusan Presiden juga menentukan bahwa pelaksanaan usaha bagi 13 (tiga belas) perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan lindung didasarkan pada izin pinjam pakai yang ketentuannya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan.

Implementasi kegiatan pertambangan di kawasan hutan, khususnya hutan lindung, ternyata hanya menguntungkan beberapa pihak dan tidak sebanding dengan resiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan tersebut. Beberapa perusahaan dari 13 perusahaan tambang yang tercantum dalam Kepres No. 41 Tahun 2004 diduga belum memiliki IPPKH tetapi telah beroperasi. Terkait dengan permasalahan ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi IV meminta Pemerintah bersikap tegas terhadap perusahaan yang melakukan eksplorasi di kawasan hutan, tapi belum mengantongi IPPKH, karena aktivitas tambang tersebut berpotensi merugikan negara, akibat kerusakan alam yang ditimbulkan selama proses eksplorasi dan tidak ada pemasukan kepada Kas Negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas kegiatan eksplorasi tambang tanpa IPPKH.

sumber : kilausurya.co.id