Fendi, nelayan Gasan mengatakan, 10 tahun lalu masyarakat sekali turun ke kawasan bakau bisa dapat lokan sekarung dua karung. “Sekarang, dapat paling karung kecil. Paling harga Rp30.000. Itulah yang didapat ibu-ibu,” kata pria 43 itu.
Dia pernah menjual lokan sekitar bakau sejak kecil. Pulang atau berangkat sekolah, mereka mencari lalu menjual atau memberikan pada orangtua baik untuk konsumsi atau dijual.
Eli Murni, perempuan Nagari Gasan mengatakan, setelah ada tambak udang warga kesulitan mencari ketam atau lokan. “Banyak yang mati karena pengaruh tambak. Terus langkitang juga payah mencarinya,” katanya.
Para perempuan berkumpul, berbincang sambil senda tawa di pinggir muara sungai di Nagari Gasan Gadang, Dusun Pasa, Desa Tanjung Pasia Penyu, Kecamatan Batang Gasan, Sumatera Barat. Muara itu lebih menyerupai kubangan yang akan terisi air laut menjelang sore. Kerbau-kerbau mulai mandi dan bermain.
Ibu-ibu ini sedang menanam mangrove. Bagi mereka, mangrove itu bisa jadi perlawanan menolak tambak udang yang sudah banyak menghilangkan hutan mangrove sekitar.
Masyarakat Gasan ingin mengembalikan kawasan mangrove mereka yang tergerus karena jadi tambak udang sejak beberapa tahun lalu.
Hutan mangrove ini juga manfaat bagi masyarakat. Kala, hutan mangrove terjaga, beragam biota laut pun berdatangan di perairan sekitar seperti ketam atau kepiting bakau (Scylla serrata), langkitang (Faunus ater), dan kerang lokan (Geloina erosa).
Dulu, hutan bakau di nagari ini terbilang rapat. Biota hutan bakau ini punya manfaat ekonomi nyata bagi masyarakat sekitar. Penyalur-panyalur lokan dan langkitang kadang pergi ke Tanjung Gasan ini untuk membeli lokan dan langkitang dalam jumlah besar lalu dijual.
BACA JUGA : Cara Mengurus IPPKH Perusahaan Tambang
Kalau terjadi badai dan nelayan tak ke laut maka mereka akan mencari ketam, langkitang atau lokan di sekitar hutan bakau itu. Dulu, sekali mencari satu orang bisa dapat 2.000 lokan. Sekarang, hanya sekitar 200 lokan.
“Ketam begitu juga. Ketam muaro sudah tidak masuk. Sudah jauh. Kadang yang halus-halus (kecil). Kadang dapat cuma setengah kilo [gram]. Kalau dulu bisa dapat berkarung-karung. Sekarung isi 300-400. Kini, setengah karung beras kecil 10 kg. Paling Rp15.000. Dulu, bisa sampai 60.000-300.000 dapat. Rp15.000 apa bisa hidup?” timpal Zuraida, warga yang turut menanam mangrove bersama Eli.
Masyarakat Gasan dominan nelayan. Kalau tambak udang dan izin meluas, katanya, ekonomi masyarakat juga akan mati.
Butet, dari Nagari Malai V Suku yang bersebelahan dengan Nagari Tanjung Gasan mengatakan, bau limbah tambak udang juga mereka rasakan. Anak-anak pun tak nyaman.
Mulyadi, nelayan menduga, tambak udang yang menggerus mangrove berdampak pada pasokan ikan. “Sejak ada tambak di kampung kita ini usaha laut sangat payah. Biasanya, melaut berangkat subuh paling jarak 5-6 mil sudah balik. Kini, 10 kilo [gram] belum tentu bawa ikan,” katanya.
Hasil melaut pun tak sebanding dengan pengeluaran. Saat melaut, Mulyadi keluarkan Rp200.000 untuk bensin pergi dan pulang.”Kadang dapat Rp100.000. Kadang lauk untuk disambal (makan keluarga) saja dapatnya. Ndak bisa dijual,” katanya.
Selain itu, jenis ikan pun makin sedikit. Dahulu, ada macam-macam ikan seperti garasak, gambolo, rigak dan banyak lagi. “Sekarang paling dapat agak sepertempat baskom dan campur baur semua jenis ikan,” katanya.
Belum lagi masalah naiknya harga bahan bakar minyak. “Kalau dulu 10 liter, kalau setelah ada tambak melebihi, 20-30 liter, karena jarak mencari ikan bertambah. Apalagi harga BBM naik.”
Tolak tambak
Kehadiran tambak udang di Tanjung Gasan yang menimbulkan berbagai persoalan ini menjadi pembelajaran bagi masyarakat nagari sebelahnya, Nagari Malai V Suku. Pada 13 September 2022, sebanyak 54 orang menandatangani surat dan mengirimkan pada Wali Nagari Malai V Suku. Isi surat soal keberatan atas pembukaan tambak udang lain di sekitar wilayah mereka.
Ada empat poin utama keberatan mereka, pertama, rencana pembuatan tambak udang akan menimbulkan pencemaran udara.
Kedua, rencana pembuatan tambak udang akan menyebabkan air laut dan pantai tercemar hingga akan mengurangi keelokan alam. Juga bisa mengancam kelestarian biota laut dan jadi dampak bagi nelayan.
Ketiga, rencana tambak udang bisa menyebabkan lingkungan kumuh, bau dan kotor sebab limbah akan merusak ekosistem.
Keempat, rencana pembuatan tambak udang berada di pemukiman warga Korong Ujung Labung dan Korong Tanjung hingga mengancam kesehatan masyarakat sekitar.
Tommy Adam, Kepala Departemen Advokasi dan Lingkungan Hidup Walhi Sumatera Barat mengatakan, berdasarkan peta mangrove 2021 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan luas mangrove di Sumbar 16.900 hektar.
“Masyarakat menolak karena tambak udang karema bisa sebabkan polusi udara, kesehatan masyarakat terancam, ekosistem mangrove rusak,” kata Tommy.
Dari analisis Walhi Sumbar, luas ekosistem mangrove di Muara Nagari Gasan Gadang dan Nagari Malai V Suku 30.7 hektar. Bermacam flora dan fauna hidup di kawasan mangrove itu jadi sumber mata pencaharian masyarakat dan nelayan di dua kenagarian.
Dia cerita, tambak mulai masuk pada 2016. Setidaknya ada delapan petak tambak udang di muara itu. Kualitas air sungai pun berangsur memburuk dan kini sudah berwarna hitam pekat karena tercemar limbah. Beberapa bulan lalu, tambak udang juga mendapat teguran pemerintah karena tak memiliki instalasi pembuangan limbah (ipal).
Gubernur Sumatera Barat melalui Nomor 1011/INST-2021 tentang moratorium tambak udang vaname. Dalam surat itu menyebutkan, pemerintah kabupaten/kota harus menghentikan pembukaan lahan baru untuk tambak udang vaname tak berizin dan belum terakomodir Perda Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten dan kota.
“Seharusnya menjadi dasar bagi Pemerintah Padang Pariaman menghentikan tambak baru yang akan membuka lahan di Nagari Gasan Gadang dan Malai V Suku,” katanya.
Walhi Sumbar mendesak pemerintah Padang Pariaman dan provinsi segera menertibkan seluruh tambak udang yang berdampak terhadap lingkungan hidup.
“Pastikan ruang hidup dan sumber mata pencaharian masyarakat di Nagari Gasan Gadang dan Nagari Malai V Suku terlindungi.”
sumber: mongabay