Konstruksi Pajak Karbon Kehutanan


Oleh: Pramono Dwi  Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Penulis Buku ‘Seputar Hutan dan Kehutanan: Masalah dan Solusi’)

Meskipun pajak karbon untuk sektor kehutanan belum diterapkan tahun ini dan baru akan dikenakan pada tahun 2025, namun sektor kehutanan merupakan kunci dalam dalam rangka mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian NDC Indonesia (Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan).

NDC atau kontribusi yang ditetapkan secara nasional adalah komitmen nasional bagi penanganan perubahan iklim global dalam rangka mencapai tujuan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Cchange (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).

Pajak karbon semestinya disasarkan kepada sektor subsektor penyumbang utama emisi karbon. Dari target NDC, target mayoritas berasal dari sektor kehutanan, sektor energi dan sektor transportasi yang menyumbang 97 persen dari total target. Sisanya adalah kontribusi dari sektor limbah, pertanian dan industri. Sementara itu sektor kehutanan menyumbang emisi karbon paling besar yakni 48 persen emisi karbon. Komposisi ini menunjukkan skala prioritas upaya pengendalian krisis iklim termasuk melalui pajak karbon.

Subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Adapun pajak karbon yang berlaku yakni barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu. Pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu atau pada saat lain.

Kendati rincian struktur pajak karbon masih belum jelas karena dalam proses pembahasan, namun pemerintah juga telah mengumumkan niatnya untuk mengenakan pajak pada industri yang mengeluarkan karbon seperti pulp dan kertas, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia.

Mengingat bahwa pajak karbon yang berlaku yakni barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu, maka barang yang mengandung karbon dan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon juga harus diarahkan kepada aktivitas sektor penyumbang emisi karbon itu sendiri yakni kehutanan (alih fungsi hutan dan kebakaran hutan), perhubungan (transportasi), perindustrian (limbah pabrik dan industri)  dan pertanian. Aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dari sektor kehutanan adalah hilangnya vegetasi kayu akibat penebangan hutan baik secara legal (melalui perizinan resmi) maupun ilegal (melalui perambahan hutan dan pencurian kayu) serta kebakaran hutan. Oleh karena itu, obyek pajak karbon untuk kehutanan juga harus disasar dari aktivitas ini dan tidak hanya terbatas barang yang mengandung karbon seperti pulp dan kertas saja. Menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana konstruksi pajak karbon dari sektor kehutanan yang seharusnya berlaku?

Nilai Instrinsik Hutan

Secara sederhana, nilai intrinsik adalah nilai yang ada di dalam sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Nilai intrinsik uang adalah nilai-nilai yang terdapat dalam fisik sebuah uang, mulai dari nominal hingga bahan baku pembuatan. Nilai ini tentunya beda pada masing-masing uang, baik yang ada dalam satu negara maupun negara lain. Dalam Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan pasal 35 ayat 1 menyebutkan bahwa pungutan dalam pemanfaatan hasil hutan ditujukan untuk mengganti nilai intrinsik hutan. Bentuknya provisi sumber daya hutan atau PSDH. Dalam Peraturan Pemerintah tentang PSDH yang terbit sebelum UU Kehutanan, PP 51/1998, PSDH atau resources royalty provision adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari hutan negara. PSDH wajib dibayar oleh pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), hak pemungutan hasil hutan (HPHH) atau izin pemanfaatan kayu (IPK), dan izin sah lainnya (ISL) atas hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.

Pembayaran PSDH tidak meniadakan kewajiban pengelola HPH, HPHH, IPK, industri pengolahan kayu hulu (IPKH) dan ISL membayar kewajiban lainnya. Dasar perhitungan dan besarnya PSDH ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan harga pasar hasil hutan dan biaya produksi.

Harga pasar hasil hutan ditetapkan dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Tarif PSDH ditetapkan oleh Menteri Kehutanan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan. Penggunaan PSDH ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan Menteri Kehutanan.

PSDH sekarang mengacu peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.64/2017 tentang penetapan harga patokan hasil hutan untuk perhitungan PSDH dan ganti rugi tegakan (GRT). Pengertian PSDH diperluas menjadi pungutan pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara dan hasil hutan yang berada pada kawasan hutan yang telah statusnya menjadi bukan kawasan hutan atau dicadangkan untuk tujuan selain kehutanan.

Penetapan harga patokan hasil hutan sebagai pedoman dasar perhitungan PSDH dan ganti rugi tegakan untuk hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, maupun hasil sistem silvopastura dan wanamina.

PSDH hasil hutan kayu dikelompokkan dalam kayu bulat dari hutan alam (kelompok jenis meranti (komersil 1) dan kelompok jenis rimba campuran (komersil 2)); kelompok hutan tanaman industri (HTI), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm); kelompok kayu Perum Perhutani dan dari Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY).

PSDH hasil hutan bukan kayu dikelompokkan dalam rotan, getah kayu hutan, resin, biji-bijian, daun-daunan dan akar-akaran, biji kopi yang berasal dari kawasan hutan, kulit kayu, bambu hutan, tikar, buah-buahan dan umbi-umbian yang berasal dari hutan negara, lain-lain. PSDH dari sistem silvopastura (susu, daging, telur) dan wanamina (ikan, belut, udang, kepiting, sidat). PSDH tidak berlaku jika hasil hutan bukan kayu berasal dari hutan adat yang dimanfaatkan masyarakat hukum adat dan tidak diperdagangkan dan hasil hutan kayu dan bukan kayu yang berasal dari hutan negara yang langsung dipakai sendiri maksimal 5 meter kubik oleh penduduk setempat dan tidak diperdagangkan, serta hasil hutan yang berasal dari hutan hak atau hutan rakyat.

Sementara itu, untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dalan lahan, pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan  dari hutan alam yang berupa kayu dikenakan pungutan berupa dana reboisasi (DR). DR dipungut berdasarkan besarnya jumlah kubikasi kayu yang dikeluarkan dari hutan alam dikalikan tarif setiap kubiknya. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas areal blok tebangan dikenakan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku  tentang Pajak Bumi dan Bangunan.  Dalam sektor kehutanan, PSDH dan DR masuk dan menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kehutanan dari obyek PNBP Pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA).

Di sisi lain, pajak karbon-termasuk pajak karbon di sektor kehutanan masuk dan menjadi penerimaan negara dari sektor pajak. Dalam UU no. 7/2021, pajak karbon di sejajarkan dengan pajakpenghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPn), dan cukai. Mungkinkah pada dalam obyek barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dikenakan dua pungutan sekaligus yakni pungutan pajak dan PNBP?

Struktur Pajak Karbon Kehutanan

Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 1997, Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP merupakan seluruh penerimaan pemerintah yang bukan berasal dari penerimaan perpajakan negara. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah penerimaan dari pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan juga hibah. Untuk subjek dari PNBP sendiri adalah orang pribadi dan badan usaha. Baik yang nantinya berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Sedangkan untuk objek dari PNBP akan meliputi seluruh aktivitas, hal, dan atau benda yang akan menjadi sebuah sumber penerimaan negara di luar pajak dan juga hibah. Di dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam, untuk PNBP akan memanfaatkan beberapa bumi, air, udara, ruang angkasa dan juga kekayaan alam yang dimiliki oleh sebuah negara. Sebagai contohnya adalah minyak dan gas. Peran BUMN di dalam perekonomian nantinya sangat besar sebagai salah satu pemasok PNBP yang bisa didapatkan dari pembayaran dividen, pengelolaan ladang migas dan juga pembayaran lisensi. Sama halnya dengan pengelolaan sumber daya hutan alam dan tanaman yang dimiliki oleh Indonesia. Perolehan pendapatan negara dari PNBP provisi sumberdaya hutan (PSDH) dan DR dari hutan alam di era orde baru merupakan devisa negara nomor dua setelah minyak bumi.

Jelas sudah bahwa dalam obyek barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon yang sama tidak dapat dikenakan pungutan dua kali sekaligus yakni pajak karbon dan PNBP pemanfaatan SDA.

Kendati rincian struktur pajak karbon masih belum jelas karena dalam proses pembahasan, namun pemerintah juga telah mengumumkan niatnya untuk mengenakan pajak pada industri yang mengeluarkan karbon seperti pulp dan kertas, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia.

Pengenaan pajak karbon dari industri pulp dan kertas yang bakunya kayu dari hasil hutan mengindikasikan bahwa pungutan ganda (duplikasi) pajak akan terjadi baik dari sisi hulu (PNBP kehutanan) maupun sisi hilir (pajak karbon hasil industri pengolahan kayu berupa pulp atau kertas). Duplikasi pajak seperti ini tidak boleh terjadi dan sebaiknya dibuat konstruksi pajak yang tunggal dari hulu ke hilir. Pajak karbon dari sumber daya hutan dapat di jadikan satu paket dengan PNBP kehutanan (PSDH dan DR) dengan meninjau kembali tarif yang selama ini berlaku untuk disesuaikan kembali secara proporsional. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. P. 64/2017 tentang penetapan harga patokan hasil hutan untuk perhitungan PSDH dang ganti rugi tegakan (GRT), sudah harus ditinjau kembali baik dari segi besaran tarif maupun struktur pajak yang akan memasukkan pajak karbon menjadi satu paket.  Rincian formula pajak karbon tunggal dari sektor kehutanan, pemerintah dapat berkonsultasi dengan pakar/ahli pajak dan ahli ekonomi kehutanan yang memahami nilai instrinsik hutan/vegetasi kayu baik dari hutan alam maupun hutan tanaman.

Khusus untuk pajak karbon bagi perdagangan karbon yang telah dilakukan pemerintah selama ini dengan pengenaan PNBP kehutanan sebesar 10 persen, nampaknya layak untuk dilanjutkan struktur dan formulasinya. Hanya saja formatnya adalah pajak perdagangan karbon, bukan PNBP kehutanan lagi. Tidak perlu dipersoalkan lagi apakah skema perdagangan karbon dalam bentuk antar negara (G to G) ataupun pemegang izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (perdagangan karbon) (IUPJL) dengan perusahaan lain diluar negeri yang membutuhkannya (B to B), yang penting pajak karbon perdagangan karbon dikenakan tarif 10 persen (PPn yang sekarang telah disesuaikan sebesar 11 persen).

Dari aspek waktu (hingga tahun 2025) masih sangat cukup untuk menyusun konstruksi pajak karbon dari sektor kehutanan yang ideal dan adil. Perlu diingat kembali bahwa  sektor kehutanan menyumbang emisi karbon paling besar yakni 48 persen emisi karbon, oleh karena itu bobot pajak karbon kehutanan juga harus mempertimbangkan beban emisi karbon yang harus dipulihkan nantinya.

sumber: https://agroindonesia.co.id/konstruksi-pajak-karbon-kehutanan/