Sawit Bukan Tanaman Hutan dan Tak Bisa untuk Rehabilitasi Hutan


Regulasi jangka benah Kebijakan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja (UU CK), yaitu Permen LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021 telah memuat regulasi terkait jangka benah, yaitu kegiatan menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit. Adapun jenis tanaman pokok kehutanan untuk Hutan Lindung dan Hutan Konservasi harus berupa pohon penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan dapat berupa pohon berkayu dan tidak boleh ditebang. 

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa kelapa sawit bukan tanaman hutan. Hal ini berdasarkan pada berbagai peraturan pemerintah, analisis historis, dan kajian akademik berlapis. 

''Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan dan pemerintah belum ada rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut,'' tegas Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK, Agus Justianto, di Jakarta, Senin (7/2). 

 Dalam peraturan ini diberlakukan larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur, maka lahan tersebut wajib kembali diserahkan kepada negara. "Untuk kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan. Hutan Produksi diatur diperbolehkan satu daur selama 25 tahun," tuturnya. 

Dalam Peraturan Menteri LHK P.23/2021 bahwa kelapa sawit juga tidak masuk sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Pemerintah saat ini lebih fokus untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang telah terjadi sejak beberapa dekade lalu, sehingga mengakibatkan masifnya ekspansif penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang non-prosedural dan tidak sah.  

Praktik kebun sawit yang ekspansif, monokulture, dan non prosedural di dalam kawasan hutan, telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis dan sosial yang harus diselesaikan.  ''Mengingat hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan, dan kebun sawit telah mendapatkan ruang tumbuhnya sendiri, maka saat ini belum menjadi pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan ataupun untuk kegiatan rehabilitasi,'' ungkap Agus.  

Terkait infiltrasi sawit yang tidak sah atau keterlanjuran sawit dalam kawasan kutan, maka penyelesaiannya dilakukan dengan memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan "Sehingga penegakan hukum yang dilakukan dapat memberikan dampak yang terbaik bagi masyarakat serta bagi hutan itu sendiri," jelas Agus.  

Salah satunya melalui regulasi jangka benah sebagai upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestri tertentu disertai dengan komitmen kelembagaan dengan para pihak.  

"Sedangkan yang berada di Hutan Lindung atau Hutan Konservasi hanya dibolehkan 1 daur selama 15 tahun sejak masa tanam dan akan dibongkar kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir," ujar Agus/ Jangka benah wajib dilakukan sesuai tata kelola Perhutanan Sosial, penanaman tanaman melalui teknik agroforestri yang disesuaikan dengan kondisi biofisik dan kondisi sosial, menerapkan sistem silvikultur atau teknik bud idaya, tanpa melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit selama masa jangka benah.  'Pendekatan ultimum remedium diambil sebagai tindakan jalan tengah yang adil dan baik bagi semua pihak, termasuk untuk kelestarian hutan. 

UUCK juga telah memperjelas bahwa sawit bukan tanaman hutan karena ada proses menghutankan kembali melalui jangka benah," katanya. "Dengan begitu maka UU CK telah memposisikan secara jelas bahwa sawit tetap tergolong tanaman perkebunan," jelas Agus.  

“Ruang tanam sawit secara sah sudah ada ruang mekanismenya dan sudah terang benderang pula pengaturannya," ucapnya. '"Saat ini yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaan PP24/2021 dapat kita kawal bersama agar efektif  implementasinya, sehingga hutan bisa lestari dan rakyat tetap sejahtera'' papar Agus.

sumber: mediaindonesia.com

Konsultan IPPKH, Penanaman RehabDAS, Tata Batas dan Inventarisasi Tegakan