Rumus Menghitung Kayu Tebangan

 


Perusahaan kayu di hutan alam produksi wajib menghitung volume kayu sebelum menebang. Normalnya, jatah tebang tahunan berdasarkan hubungan antara luas konsesi, volume total ketersediaan kayu, serta berdasarkan etat tebang di setiap areal.

Selama ini, jatah tebangan tahunan ditetapkan berdasarkan inventarisasi tegakan, tapi acapkali inventarisasi tidak mencakup seluruh areal konsesi. Jika ingin presisi, mestinya sensus pohon secara keseluruhan. Tapi, perusahaan kayu acap menghindarinya karena mahal.

Sistem silvikultur hutan alam tropika basah di Indonesia, ada istilah annual allowable cutting atau jatah tebang tahunan yang diizinkan. Sering juga disebut etat. Istilah ini sudah ada sejak 1970-an, sejak Indonesia melirik hutan sebagai komoditas andalan mendapatkan devisa. Bagaimana menghitung kayu tebangan agar hutan tetap lestari?

Etat dibagi dua: etat luas dan etat volume. Perhitungan etat luas memakai dua pendekatan: luas efektif sisa areal hutan alam dibagi sisa daur atau luas areal efektif untuk produksi, dibagi lama daur tebang. Sedangkan etat volume dihasilkan dari etat luas dikalikan dengan potensi rata-rata kayu per hektare untuk jenis komersial yang berdiameter lebih dari 50 sentimeter.

Etat dalam sistem silvikultur tebang pilih tanam Indonesia (TPTI), untuk periode konsesi pertama (20 tahun pertama) (A), dibagi rotasi tebang atau daur (untuk hutan Dipterocarpaceae dataran rendah dan bukit waktunya 35 tahun), dikalikan volume rata-rata jenis komersial yang bisa dipanen dengan diameter setinggi dada (dbh) 50-60 sentimeter per hektare (V).

Rumus sederhana etat luas adalah luas efektif konsesi yang masih berhutan dibagi daur. Misalnya, untuk konsesi seluas 100.000 hektare pada rotasi 20 tahun pertama, blok tebang tahunan seluas 100.000 hektare : 35 tahun = 2.857,14 hektare. Jika volume jenis komersial 35 meter kubik per hektare, jatah tebang tahunan = 2.857,14 x 35 = 100.000 meter kubik per tahun.

Untuk memperkirakan jumlah pohon biasanya memakai survei seluas 0,3% dari seluruh areal konsesi atau memakai intrepretasi satelit. Volume kayu diambil setiap tahun, sehingga jatah pengusahaan tahunan (JPT) sebenarnya lebih rendah dari pada jatah tebang tahunan.

Mengingat pemanfaatan hutan tak selalu mulus, ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi volume tebangan. Misalnya, pembusukan, limbah pembalakan, dan kerusakan hutan. Gangguan ini disebut faktor eksploitasi (fe). Juga ada faktor pengaman yang disebut faktor pengaman (fs).

Biasanya faktor eksploitasi (fe) sebesar 0,7 dan faktor pengaman (fs) sebesar 0,8. Nilai fe bervariasi antara 0,7-0,9, sementara nilai fs tetap 0.8. Nilai fe ditentukan oleh Dinas Kehutanan, setelah mengevaluasi kondisi hutan setempat serta kemampuan perusahaan. Rumus jatah tebang tahunan menjadi:

Etat volume = volume bruto x fe x fs

Volume bruto adalah volume sediaan tegakan jenis komersial pada areal konsensi efektif lalu dibagi daur. Misalnya, dari 100.000 hektare konsesi, riap hasil monitoring 6,21 meter kubik per hektare per tahun. Luas efektif dari konsesi itu seluas 75.000 hektare, sehingga etat luas untk 35 tahun 2.142,86 hektare per tahun. Dengan begitu, jatah tebang tahunan volume = 2.142,86 hektare per tahun x 6,21 meter kubik per hektare per tahun x 0,7 x 0,8 x 35 tahun = 260.820 meter kubik per tahun.

Jika perusahaan melaksanakan periode konsesi kedua, penghitungan jatah tebang tahunan harus mempertimbangkan sebagian hutan bekas tebangan akan ditebang lagi. Peraturan Menteri Kehutanan menjelaskan bahwa jatah tebang tahunan-volume dihitung dengan memusatkan pada blok primer, sehingga rumusnya menjadi

Jatah tebangan tahunanarea = Ar – Al/35 – 20 tahun

Jatah tebang tahunanvolume = Jatah tebang tahunanarea x Vr x fs 

Di mana:

Ar = areal yang masih ada di blok hutan alam

Al = kawasan lindung di blok ini

Vr = volume neto per hektare saat ini

Masalahnya, penebangan ulang bekas tebangan akan terjadi pada lima tahun terakhir pada periode rotasi kedua. Jika dalam pertumbuhan tidak tersedia penghitungan jatah tebang tahunan, perhitungannya biasanya menggunakan potensi hutan sebelumnya yang dianggap sama dengan bekas tebangan. Konsep ini berdasarkan pada asumsi bahwa penerapan TPTI menjadikan bekas tebangan sama dengan kualitas hutan primer hanya dalam 35 tahun saja.

Konsesi sebuah perusahaan kayu adalah 20 tahun, sementara daur teknis tegakannya berdasarkan sistem silvikultur (TPTI) adalah 35 tahun. Kenyataannya, pada akhir konsesi pertama, banyak perusahaan kayu yang sudah kehabisan areal hutan primer karena sudah diijon pembalakannya. Akibatnya, secara teknis izin konsesinya tidak diperpanjang. Itu kenapa banyak perusahaan kayu yang kolaps.

Pada 2000, jumlah hak pengusahaan hutan (HPH) atau IUPHHK-hutan alam sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektare. Pada 2010 , jumlahnya tinggal 304 perusahaan dengan luas areal kerja 25,05 juta hektare. Pada 2019, jumlahnya menyusut lagi tinggal 255 unit dengan luas 18,7 juta hektare.

Mohammad Na’iem, staf pengajar Fakultas Kehutanan UGM, penyebabnya adalah rendahnya produktivitas perusahaan kayu hutan alam di Indonesia. Menurutnya, meski sistem silvikultur telah lama diusahakan, tapi belum dipraktikkan hingga satu siklus secara penuh.

Sistem silvikultur tersebut telah memberikan data riap beberapa jenis kayu prospektif, terutama meranti cepat tumbuh (fast growing meranti). Akan tetapi data yang tersedia tidak sebanding dengan  potensi keragaman jenis pohon yang ada di Indonesia. Tidak lengkapnya data tersebut menyebabkan sulitnya pengambil kebijakan membuat strategi yang tepat agar pengelolaan hutan maksimal.

Tidak tepatnya pengelolaan hutan di Indonesia menyebabkan produktivitas hutan tropis cenderung menurun hingga sampai pada tingkat hutan tidak mungkin lagi dikelola secara menguntungkan. Data tahun 2003 menunjukkan produktivitas hutan alam Indonesia hanya berkisar 1,1-1,4 meter kubik per hektare per tahun. 

Dengan riap yang kecil, target produksi kayu hanya bisa dipenuhi bila areal tebangannya luas. Karena itu pada akhir konsesi pertama, banyak perusahaan kayu yang kehabisan areal hutan primernya.

Pasal 158 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan menyebutkan bahwa pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hasil Hutan (PBPH)—nama baru pengganti HPH dan IUPHHK-hutan alam) melarang perusahaan kayu:

menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 5% dari total target volume yang ditentukan dalam rencana kerja tahunan;

menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 3% dari volume per jenis kayu yang ditetapkan dalam rencana kerja tahunan.

Pasal ini mengandung pesan bahwa jatah tebang tahunan masih berlaku dalam aturan turunan UU Cipta Kerja yang kini jadi pedoman pemanfaatan hutan dengan tetap memakai teknik silvikultur intensif.  Teknik silvikultur intensif untuk mendongkrak riap tumbuh jenis-jenis komersial sehingga dalam rotasi kedua sudah tersedia stok kayu kembali.

Kelebihan utama teknik silvikultur intensif dengan teknik silvikultur sebelumnya adalah intensitas monitoring, kontrol, dan evaluasi tanaman berupa kewajiban pengayaan tanaman (enrichment planting). Teknik silvikultur intensif memiliki metode melacak jenis yang ditanam, luas, lokasi dan pelaporannya. 

Keunggulan lain silvikultur intensif adalah pengelolaan tanaman tidak lagi dalam pengelolaan unit jumlah tegakan tetapi individu pohon. Pendekatan silvikultur intensif memperkirakan stok tegakan 400 meter kubik per hektare selama 30 tahun.

Estimasi kenaikan produksi dengan teknik ini bisa dicapai 10 kali lipat dibandingkan rata-rata produksi hutan alam. Umumnya, produksi katu perusahaan hutan alam 20-30 meter kubik per hektare selama 35 tahun.

Kelemahan sistem silvikultur intensif di hutan alam ini, antara lain, biaya per hektare mahal. Pengawasan KLHK yang lemah membuat monitoring dan evaluasi silvikultur intensif tak efektif, yang tecermin dari jomplangnya volume kayu tebangan tahunan yang acap tak sesuai dengan riapnya.

tulisan ini telah dipublikasikan di forestdigest.com pada 8 april 2022.

KONSULTAN INVENTARISASI TEGAKAN dan IPPKH