Penerbitan PPKH harus Hati-hati dan Selektif

 

Soalnya Indonesia ingin mempertahankan kawasan hutan dan tutupan hutan untuk menekan dan menurunkan emisi karbon hingga 29% pada 2030. Disisi lain, karena kebutuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja, alih fungsi hutan terus berlangsung dan makin meningkat eskalasi dan luasnya tanpa pengawasan lembaga legislatif.

Para politisi pun mengkritik pemerintah di titik ini karena mereka menganggap pertimbangan ekonomi lebih dominan dibanding lingkungan. Soalnya, PP 105 Tahun 2015 menyebutkan bahwa aktivitas nonkehutanan selain harus punya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) juga wajib menyerahkan lahan kompensasi.

Untuk pertambangan, lahan kompensasinya dua kali lipat dari luas lahan pinjam pakai. Dalam PP 23/2021, IPPKH diubah menjadi persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH). Di aturan baru ini, pengusaha diberi pilihan: sediakan lahan kompensasi atau bayar PNBP kompensasi plus PNBP penggunaan kawasan hutan.

Ketua Komisi Kehutanan DPR menilai PNBP kompensasi mengancam kelestarian dan keberadaan hutan serta merugikan negara dan masyarakat. Menurut dia, penetapan nilai PNBP Kompensasi harus memperhatikan nilai ekonomi hutan dan jasa lingkungannya serta menjamin hutan tetap lestari.

Karena izin pinjam pakai kawasan hutan lindung untuk keperluan lain harus diperjelas dan dipertegas bahkan dihentikan karena alih fungsi hutan lindung dalam skala luas akan mengancam kelestarian kawasan hutan. 

Pemulihan kawasan hutan lindung, termasuk rehabilitasi dan revegetasinya, tidak semudah di hutan produksi. Oleh karena itu pinjam pakai kawasan hutan lindung untuk masa yang akan datang harus dilakukan secara hati-hati dan selektif.

sumber: forestdigest.com

Konsultan dan Kontraktor PPKH