Pada 2030 akan menjadi tahun penentuan pemerintah Indonesia mengatasi krisis iklim. Seperti janji seluruh dunia mencegah suhu bumi naik 1,50 Celsius pada tahun tersebut, Indonesia turut serta mengajukan mitigasi krisis iklim dengan menurunkan emisi 29-41%.
Ada lima sektor yang menjadi fokus dalam penurunan emisi delapan tahun ke depan: energi, kehutanan dan penggunaan lahan, pertanian, limbah, dan industri serta proses produksi. Sektor kehutanan punya target paling besar, yakni menurunkan emisi sebesar 17,4% pada skenario menurunkan emisi 29% dari prediksi emisi 2030 sebesar 714 juta ton setara CO2.
Bagaimana caranya? Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menetapkan kebijakan FOLU Net Sink. FOLU adalah forestry and land use. Net sink sebenarnya adalah emisi negatif karena definisi FOLU Net Sink diartikan sebagai penyerapan karbon di sektor lahan dan kehutanan lebih banyak dari yang dilepaskannya.
Karena itu, kata Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, ke depan fokus utama pengelolaan hutan adalah pemulihan. “Karena isu kebijakan pengelolaan hutan tidak akan lepas dari pengendalian perubahan iklim,” kata dia dalam satu diskusi Forest Talk di Purwokerto, 27 Maret 2022 malam.
Forest Talk adalah satu acara dalam rangkaian Forest Camp Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB. Obrol-obrolan itu mengambil tema “Masa Depan Pembangunan Hutan” dengan dua narasumber lain: Naresworo Nugroho, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Tri Lastono, Kepala Divisi Ekowisata Perum Perhutani.
Menurut Bambang Hendroyono, Indonesia tidak boleh terlambat menuju net sink 2030. Jika terlambat, kata dia, generasi mendatang akan merasakan dampak iklim dan Indonesia Emas 2045 bisa gagal mewujudkan cita-cita pembangunan yang adil dan berkelanjutan. “Jika gagal, artinya kami sebagai pemimpin saat ini telah gagal membuat kebijakan yang baik untuk generasi yang akan datang,” kata dia.
Karena itu fokus pembangunan ke depan, kata dia, adalah memperbaiki lingkungan yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Sehingga fokus pemulihan hutan yang terdegradasi, seraya menekan deforestasi, seraya mendorong kontribusinya pada nilai ekonomi.
Bambang menyinggung Peraturan Presiden Nomor 98/2021 soal nilai ekonomi karbon. Dengan Perpres ini, pemulihan hutan dan perlindungannya akan menghasilkan secara ekonomi karena hutan menjadi penyerap karbon. Sementara karbon kini menjadi komoditas yang bisa diperdagangkan.
Para produsen emisi harus membeli jasa pemulihan dan penyerapan karbon yang mereka produksi itu. Dengan begitu, kata Bambang, pemulihan hutan menjadi punya nilai.
Pemulihan hutan berbentuk rehabilitasi hutan dan lahan. Proyek rehabilitasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi karena padat karya, memerlukan tenaga kerja yang banyak. Bedanya kali ini, kata Bambang, rehabilitasi akan dipadukan dengan teknologi sehingga pemulihan bisa terpantau hingga program rehabilitasi berhasil sebagai penyerap emisi ketika pohonnya telah dewasa.
Naresworo Nugroho, Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, menambahkan bahwa kampus telah siap menopang pemulihan hutan. Menurut dia, IPB sudah sadar pembangunan ke depan tak lepas dari mitigasi krisis iklim. Karena itu, dua tahun lalu, Fakultas Kehutanan menambahkan nama di belakangnya menjadi Fakultas Kehutanan dan Lingkungan.
Dengan memasukkan unsur lingkungan, kata Naresworo, ilmu kehutanan mesti multidisiplin karena lingkungan menyangkut topik yang luas. Fakultas Kehutanan tak hanya mempelajari menaikkan nilai kayu di dalam hutan agar meningkatkan nilai ekonominya, juga memandang hutan sebagai kesatuan ekosistem.
Dalam ekosistem hutan tak hanya menghasilkan pohon, tapi jasa lingkungan yang nilainya jauh lebih besar dibanding hanya kayu. Hutan yang rusak tak menghasilkan jasa ekosistem bagi lingkungan dan mahluk hidup.
Tri Lastono dari Perum Perhutani setuju. Menurut dia, pemulihan dan menjaga hutan yang memberikan ekosistem sejalan dengan program Perhutani yang hendak memanfaatkan lebih banyak hasil hutan bukan kayu. Salah satunya ekowisata.
Ekowisata memerlukan hutan yang terjaga, juga infrastruktur untuk menaikkan minat masyarakat menikmati wisata dan tergerak melindunginya. Menurut dia, di saat pandemi minat masyarakat berkunjung ke hutan yang asri naik. “Sekarang ada konsep forest healing yang sejalan dengan program ekowisata ini,” kata dia.