Kisruh Pengelolaan Hutan Perhutani

 

Terbitnya SK Men-KLHK Nomor 287 tanggal 5 April 2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) membuat kisruh silang pendapat berbagai pihak.

Seluas sekitar 1,1 juta hektare lahan hutan produksi (HP) dan hutan lindung (HL) kawasan hutan Perum Perhutani dicabut dan dialih fungsikan yang titik beratnya dikelola untuk perhutanan sosial (PS). Pengelolaannyapun juga dialihkan ke tangan KLHK.

Sikap yang tidak sependapat sudah disuarakan oleh DPR-RI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Menteri LHK pada awal Januari 2022. Luas hutan Jawa yang hanya 16 persen yang layak ditambahi, malah dikurangi.

Melihat begitu banyak pengalaman tidak baik yang ditunjukkan dalam praktik, pihak DPR-RI berpendapat agar ada evaluasi pelaksanaan PS yang telah ada serta menyiapkan aturan pelaksanaannya secara matang.

“Pertimbangan cash-flow BUMN hutan negara tersebut kemungkinan yang dijadikan salah satu alasan dikuranginya beban pengelolaan hutan-hutan tidak produktif, sedangkan Perhutani ditugasi untuk fokus memperoleh keuntungan dalam mengelola hutan yang tinggal sekitar separoh dari luas sebelumnya yang 2,4 juta hektare”, tutur Dr. Transtoto Handadhari, rimbawan Kagama yang dikenal juga sebagai pengamat ekonomi kehutanan dan lingkungan.

Namun tak pelak kasus pengurangan luas hutan Perhutani yang sangat besar tadi juga menyisakan masalah antara lain bagaimana penanganan 8 ribu karyawan Perum Perhutani yang sebelumnya mengelola 1,1 juta hektare tersebut.

Transtoto yang mantan Direktur Utama Perum Perhutani 2005-2008 melihat kesulitan yang akan dihadapi bila terjadi pengalihan massal pekerja Perhutani mengikuti alih kelola hutan karena perbedaan kultur usaha dan perbedaan status kepegawaiannya.

Menurutnya dampak negatif terbesar bagimasyrakat dan pembangunan adalah ancaman bencana lingkungan. Pengelolaan hutan PS yang kurang persiapan, cenderung berorientasi kepentingan ekonomi bukan hanya menimbulkan ekses rusaknya hutan, tetapi juga sering terjadi sewa menyewa lahan bahkan jual beli lahan hutan yang berpotensi hilangnya hutan tanpa kendali.

“Apalagi terselip kata dapat diwariskan,” ujarnya ragu sambil berharap kata itu tidak ada.

“Perlu disusun Amdal wilayah sehingga dapat dihindari dampak negatif kebijakan di atas melalui pembatasan kegiatan, larangan dan keharusan membuat hutan tanaman maupun bangunan-bangunan konservasi,” lanjut Transtoto.

Transtoto mencurigai adanya kepentingan kebutuhan lahan bisnis yang luas seperti perkebunan tebu, kopi, coklat dan lainnya yang berada dibelakang kebijakan tersebut.

“Belum lagi kehidupan biodiversitas di kawasan hutan Perhutani, maupun kawasan KHDPK yang diperkirakan akan hancur karena kurangnya pemahaman tehnis dalam mengelola aset eks. Perhutani seperti tanaman jati dan kelola getah? Sudah siapkah sistem dan aturan2 pengelolaann PS secara konservasif? Bagaimana pula dengan gejolak sosial dan ekonomi masyarakat yg akan timbul?,” Transtoto mempertanyakan.

Belakangan juga terdengar akan dilakukannya perubahan bentuk Perum menjadi bentuk persero (PT) bagi Perhutani. Sesuatu yang pernah dicoba dilakukan terhadap Perum Perhutani awal tahun 2000-an dan gagal.

“Segera PT. Perhutani berubah kembali menjadi Perum,” katanya.

“Bila kembali diubah jadi persero berarti tanggung jawab Perhutani terhadap kesejahteraan sosial masyarakat desa hutan hilang. Ini akan sulit nengingat ketergantungan ekonomi dan sosial puluhan juta jiwa telah terangkai selama ratusan tahun,” kenangnya sedih.

“Sebaiknya pihak Direksi Perhutani berinisiatif mengundang para sesepuh kehutanan untuk berdialog terbuka dan jernih memecahkan masalah yang dihadapi Perhutani, lembaga kehutanan kebanggaan semua rimbawan Indonesia itu,” pungkas Transtoto.

sumber: agroindonesia.co.id

Konsutltan IPPKH, Penanaman RehabDAS, Tata Batas dan Inventarisasi Tegakan