Co-firing PLTU Tumbuhkan Hutan Tanaman Energi

 

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ujicoba pelaksanaan co-firing sudah dilakukan pada 41 lokasi dari 52 lokasi PLTU yang ada per Mei 2021

Bahkan sudah ada 13 lokasi PLTU yang sudah mengimplementasikan co-firing secara komersial.

Implementasi co-firing untuk pembangkitan listrik pada PLTU memicu pertumbuhan Hutan Tanaman Energi (HTE) di Indonesia.

Naiknya harga batu bara di pasar Internasional juga menjadi pendorong pencampuran biomassa dengan batu bara dalam memproduksi kebutuhan setrum di tanah air.

Dari roadmap produksi listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) co-firing, produksi listrik yang dihasilkan dari biomassa sebesar 8.783,1 Giga Watt hour (GWh) secara akumulatif pada 2021-2024.

Selanjutnya produksi listrik berbasis biomassa diproyeksikan sebesar 10.601 GWh per tahun pada 2025-2035.

Untuk memproduksi kebutuhan listrik tersebut dibutuhkan biomassa sebanyak 7,54 pada periode 2021-2024 dengan 4,68 juta ton diantarannya adalah biomassa kayu yang berasal dari Hutan Tanaman Energi (HTE).

Lebih jauh lagi, kebutuhan akan biomassa kayu HTE diperhitungkan akan mencapai 9,02 juta ton per tahun pada 2025-2035.

Situasi tersebut pun merangsang investasi pengembangan HTE secara kongkret. Pada Januari 2021 ditandatangani nota kesepahaman (MoU) antara BUMN yang melibatkan PT PLN, Perum Perhutani, dan PTPN III untuk penyediaan biomassa untuk kebutuhan co-firing di PLTU.

Ada juga kerja sama antara PT Inhutani III, Konsorsium Indoplas Energi, dan Cipta Energy Lestari (CEL) untuk pemenuhan bahan baku pembangkit listrik tenaga biomassa di Kalimantan Barat. Kerja sama ditandatangani pada 20 Desember 2021 lalu.

Kerja sama akan ditindaklanjuti dengan studi kelayakan proyek alias feasibility study (FS) untuk menentukan berbagai hal seperti volume biomassa yang akan dipasok, rencana kapasitas PLTBm yang akan dibangun, keekonomian dan kelayakan proyek

Untuk kerja sama tersebut Inhutani III menyiapkan areal konsesi seluas 5.000 hektare di Nanga Pinoh, Kalimantan Barat.

Lalu ada juga kajian pra feasibility study untuk pembangunan HTE dengan kapasitas sampai dengan 1 juta ton wood pellet per tahun antara PT Indika dan Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) di Kalimantan Barat.

Listrik Masyarakat

Yang terbaru, anak usaha PLN, Indonesia Power juga membangun HTE pada lahan milik perseroan. Untuk tahap pertama akan diproyeksikan HTE akan dibangun di lahan seluas 382 haktare dengan jumlah tanaman energi 1,9 juta batang.

Direktur Utama Indonesia Power M. Ahsin Sidqi menyatakan warga sekitar bakal dilibatkan baik untuk menanam atau pun mengolah biomassa yang dihasilkan sesuai standar nasional.

“Jadi listrik berbasis dari masyarakat. Warga yang menanam akan diajari untuk menghasilkan tanaman energi sesuai SNI. Ini kesejahteraan untuk masyarakat sekaligus melestarikan alam,” kata Ahsin Sidqi, Rabu 19 Januari 2021.

Indonesia Power menargetkan biomassa dari HTE ini bisa mencapai 10% dari kebutuhan bahan baku energi atau setara 2,5 juta ton per tahun. Untuk mencapai target tersebut membutuhkan lahan seluas 12.500 hektare.

Suburnya hasrat untuk berinvestasi pada HTE sesuai dengan target Indonesia untuk bauran EBT dalam penyediaan energi sebesar 23% pada tahun 2025 mendatang. Selain itu dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 penggunaan EBT juga akan ditingkatkan persentasenya hingga 48%.

Koordinator Penyiapan Program Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Trois Dilisusendi menyatakan, co-firing sangat pas untuk mendukung peningkatan penggunaan EBT. Pasalnya, tidak dibutuhkan investasi baru yang besar dan cukup memanfaatkan PLTU yang sudah ada.

Implementasi co-firing juga secara cepat bisa meningkatkan total EBT dalam bauran energi nasional. “Dengan 5% co-firing di unit-unit PLTU, maka akan mendapat 900 MW listrik berbasis EBT setara 0,9% bauran EBT,” katanya.

Direktur Operasi 1 PT Pembangkitan Jawa Bali M Yossy Noval A menyatakan pihaknya telah melakukan ujicoba untuk implementasi cofiring di sejumlah PLTU.

“Hasil uji yang dilakukan co-firing terbukti mampu menurunkan emisi gas rumah kaca dan emisi Sox (sulfur oksida) jadi memang lebih ramah lingkungan,” katanya.

Harga Batu bara

Momen pengembangan HTE energi makin tepat seiring dengan rencana pemerintah menyiapkan skema baru pengadaan batu bara oleh PLN.

Skema yang berlaku saat ini, PLN membeli batu bara DMO (Domestik Market Obligation) dengan harga “subsidi” sebesar 70 dolar AS per metrik ton.

Berdasarkan skema baru yang masih dalam perencanaan, PLN akan membeli batu bara sesuai harga pasar. Kemudian selisihnya dibanding harga subsidi akan ditangani oleh Badan Layanan Umum (BLU) yang sedang disiapkan pemerintah.

Sebagai gambaran, saat ini harga batu bara di pasar Internasional mencapai 150-170 dolar AS per metrik ton.

Situasi ini pun diyakini akan memicu harga biomassa HTE makin kompetitif jika dibandingkan dengan batu bara.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Indroyono menyatakan co-firing harus didukung oleh feedstock berkelanjutan dari HTE. Jadi penting untuk memastikan harga keekonomian biomassa hutan.

“Kayu dalam bentuk woodchips masih masuk hitungan ekonomis sebagai co-firing, di Jawa,” katanya.

Hitung-hitungan APHI, harga jual woodchips alias kayu serpih yang ekonomis berkisar antara Rp666.000-Rp995.000 per ton. Di Jawa, dengan dukungan infrastruktur yang baik maka harga keekonomian bisa tercapai.

Di luar Jawa seiring rencana pemerintah menerapkan skema baru pembelian batu bara oleh PLN, maka harga keekonomian woodchips diharapkan bisa tercapai.

Saat ini sedang disusun Tim Pengembangan Co-firing oleh Kementerian Eenergi dan Sumber Daya Mineral dengan APHI terlibat sebagai anggota tim.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan per Desember 2021, ada 567 izin usaha pemanfaatan hutan dengan luas 30,5 juta hektare. Namun tidak semua izin tersebut aktif beroperasi.

Indroyono berharap pada izin yang tidak aktif mendapat fasilitasi pengembangan HTE dengan pola multiusaha kehutanan.

Mereka bisa menanam berbagai jenis tanaman yang potensial sebagai penghasil energi berbasis biomassa, misalnya kaliandra (Calliandra calothyrsus), gamal (Glinsida maculate), dan akasia (Acacia Decurens).

Jenis pohon tersebut menghasilkan biomassa kayu yang bernilai kalor tingi, tak kalah dengan batu bara. Berdasarkan kajian Badan Litbang dan Inovasi KLHK, 2006, biomassa kayu kaliandra memiliki nilai kalor 4.617, sementara nilai kalor kayu gamal sebesar 4.548, dan nilai kalor kayu akasia sebesar 4.462. 

sumber: forestinsights.id

Konsultan IPPKH, Penanaman RehabDAS, Tata Batas dan Inventarisasi Tegakan